Sebagai seorang yang telah lama berinteraksi dengan komunitas kreatif di Kota Bandung, saya, Arfi Rafnialdi, sangat terkesan dengan perjalanan The Hallway Space. Meski sempat terhambat oleh pandemi Covid-19 saat awal merintis usaha, ruang kreatif ini kini mulai tenar sebagai salah satu destinasi wajib bagi anak muda di Kota Bandung. Tempat ini juga menjadi salah satu contoh ekosistem ekonomi kreatif di Bandung.
Perjalanan Menjadi Ekosistem Ekonomi Kreatif
Ketika pertama kali mendengar cerita dari Bob alias Faizal Budiman, salah satu founder dan perintis dari The Hallway Space, saya bisa merasakan semangat dan dedikasi mereka. Tahun 2019, Bob dan tiga temannya melihat potensi di sebuah ruang terbengkalai di Pasar Kosambi, yang selama 15 tahun tidak pernah dimanfaatkan. Dengan modal patungan sebesar Rp20 juta, mereka mulai menyulap tempat itu menjadi sebuah ekosistem ekonomi kreatif. Bob menceritakan bagaimana dengan patungan Rp5 juta per orang, mereka mendapat izin dari Perumda Pasar dan mulai merenovasi ruang yang dulunya sepi ini. Awalnya hanya ada dua toko, tetapi dari sinilah semangat untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar mulai tumbuh.
Pandemi tidak menghentikan mereka. Justru sebaliknya, semangat untuk menjadikan The Hallway Space sebagai tempat nongkrong anak muda Kota Bandung semakin besar. Pada 1 Oktober 2020, setelah melalui berbagai tantangan, termasuk mencari dan mengajak tenant-tenant dengan visi dan misi yang sejalan, The Hallway Space akhirnya dibuka untuk umum. Ketika itu, traffic pengunjung sudah mencapai seribuan orang per hari, sebuah angka yang cukup mengesankan mengingat ini adalah masa-masa sulit bagi banyak bisnis lainnya. Bob juga bercerita bagaimana mereka memberikan sewa gratis selama setahun kepada 20 toko pertama untuk memicu pertumbuhan. Saat ini, jumlah toko di The Hallway Space telah mencapai 140.
Sebagai seorang yang juga peduli dengan perkembangan ekonomi kreatif di Kota Bandung, saya merasa sangat terinspirasi oleh cara The Hallway Space dikelola. Tidak hanya dikelola dengan apik, tetapi juga omzet beberapa toko di sini sangat mengesankan. Bayangkan, jika dalam satu hari ada 1.000 orang yang datang dan setiap orang menghabiskan setidaknya Rp50.000, maka omzet per hari bisa mencapai Rp50 juta. Bob juga menyampaikan, bahwa pada bulan Ramadan tahun lalu, beberapa toko bahkan mencatat omzet hingga Rp1 miliar per bulan.
Keberhasilan ini tentu tidak datang begitu saja. Bob menjelaskan bahwa ekosistem yang sehat di antara tenant, terutama dalam hal promosi media sosial yang menarik, menjadi salah satu kunci kesuksesan mereka. Produk-produk yang dijual pun dikurasi dengan sangat baik, sehingga kualitas dan vibes tempat ini tetap terjaga. Ini membuat saya semakin yakin bahwa kolaborasi dan kurasi yang baik adalah fondasi dari ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan.
Harapan Terhadap Walikota dan Pemkot Bandung
Untuk itu, Bob berharap kepada Pemkot Bandung di bawah kepemimpinan wali kota yang baru nantinya, harapan pelaku bisnis kreatif di lokasi ini terbilang sederhana. Mereka hanya berharap tetap bisa mengekspresikan kreatifitas mereka di sini.
“Harapannya atau targetnya, kepingin tempat ini tetap ada, menjadi salah satu wadah atau ekosistem ekonomi kreatif di Bandung. Konsep Ini sudah terduplikasi di kota lain seperti di Surabaya dan Solo. Kalau ini bisa terduplikasi di kota-kota lain jadi banyak aset-aset pasar yang bisa hidup,” tandasnya.
Inspirasi dan Peluang Replikasi Konsep di Lokasi Lain
Saya melihat bahwa inisiatif seperti The Hallway Space ini sangat penting untuk dikembangkan lebih luas. Dalam kunjungan saya ke sana, saya sempat menikmati semangkuk cuanki di salah satu sudutnya, yang rasanya sungguh nikmat. Selain itu, saya juga membeli kaos di toko Senikanji seharga Rp150.000. Kaos itu sangat unik, dengan tulisan pepatah dalam bahasa Indonesia yang diubah menjadi huruf kanji. Saya penasaran dan ketika mencobanya di Google Translate, ternyata artinya memang benar sesuai pepatah yang tertulis.
Saya kagum bagaimana The Hallway Space berhasil menghidupkan kembali pasar tradisional, yang biasanya kurang menarik bagi anak muda. Kini, dengan adanya The Hallway Space, pasar ini hidup 24 jam. Sore hingga malam hari menjadi tempat berkumpul, ada yang meluncurkan produk, bahkan ada mini konser yang bersifat lebih intimate dengan penonton. Malamnya, pasar basah (pasar tradisional) mulai beroperasi, menciptakan kehidupan yang terus mengalir tanpa henti.
Namun, saya juga menyadari bahwa tidak semua pasar di Kota Bandung bisa mengusung konsep yang serupa. Kota Bandung memiliki karakteristik yang berbeda-beda di setiap pasar, dan saya yakin bahwa kreativitas warga Bandung bisa menciptakan keunikan di setiap tempat.
Mungkin beberapa pasar bisa mengadopsi konsep seperti The Hallway Space, tetapi di tempat lain, dibutuhkan kreativitas yang berbeda. Harapan saya, dengan terus berkembangnya ekonomi kreatif, taraf hidup masyarakat di kota ini juga akan meningkat.
Dengan semangat yang sama, saya berharap bisa terus mendukung inisiatif-inisiatif kreatif seperti ini di masa depan, agar Bandung tetap menjadi kota yang hidup dan dinamis, tempat kreativitas dan inovasi tumbuh subur di setiap sudutnya.
Tautan Lain :