Berikut petikan wawancara saat saya menghadiri podcast di Studio Tribun Jabar dipandu oleh Pemred Tribun Jabar, Adi Sasono, Rabu (17/7)
Kang Arfi lama di dapur, apa sebetulnya latar belakang Kang Arfi?
Ayah dan ibu saya lulusan Unpad, lalu jadi PNS dokter ditugaskan ke Tangerang waktu masih jadi bagian Jawa Barat. Saya lahir, TK, SD, SMP di Tangerang. Tahun 1993 saya masuk SMA 3 Bandung. Kemudian S1 dan S2 di ITB.
Tahun 2013, saya diajak jadi Tim Kebijakan Publik Wali Kota Bandung.
Saya sipil, beliau (Ridwan Kamil) arsitek. Jadi sudah inline dengan cara kami berpikir dan bekerja. Yang paling seru waktu itu di 2015. Waktu itu Kang Emil lagi di Jakarta menelepon saya, beliau mendapat tugas dari Presiden untuk menggelar hajatan peringatan Konferensi Asia Afrika.
Persiapan hanya dua bulan, sekian belas project dikerjakan, termasuk bola-bola yang sekarang populer di Braga dan di Asia Afrika. Itu sekelumit kerjaan saya di dapur. Saat itu, selesai rapat pukul 22.00-23.00 saya jalan kaki inspeksi, kayak mandor proyek. Jadinya saya banyak belajar di mana jadi pemimpin kota harus turun ke lapangan, mengerti teknis agar program betul-betul bermanfaat untuk masyarakat.
Apa alasan Kang Arfi sekarang maju di Pilwalkot Bandung?
Bahasa spiritualnya panggilan hati, karena sejak dulu senang dengan kegiatan sosial. Hidup lebih bermakna kalau bisa bermanfaat buat orang. Saya punya bekal pengalaman, dalam konteks lain saya pernah menjadi Ketua Ikatan Alumni ITB Jawa Barat, Ketua Harian TKD Prabowo-Gibran.
Apalagi Bandung itu kota yang keren, kekuatan Kota Bandung itu orangnya. Bandung juga selalu jadi episentrum kreativitas, mau dari musik, fesyen, atau kuliner. Harusnya, semangat serupa harus bisa diimplementasikan dalam pelayanan publik.
Kemacetan memang jadi indikasi aktivitas ekonomi baik, tapi banyak dampak negatif dari kemacetan, seperti masalah polusi, sampah dan lainnya. Bagaimana menyikapi hal itu?
Jadi saya sering berkeliling, bersilaturahim soal sampah dan kemacetan. Itu jadi kegelisahan kita. Tantangan pemerintah kota ke depan itu ada urusan yang bersifat urgent dan important. Salah satunya sampah, apalagi di weekend harus diperhatikan ekstra. Kemacetan banyak resources yang kebuang, dampak polusinya.
Ada dua sisi kalau bicara macet. Macet itu enggak bisa hilang, di kota maju pun macet tetap ada dengan intensitas terukur sehingga warga bisa merencanakan waktu tanpa terjebak macet yang tak terduga. Ada paradoks kalau menyediakan jalan baru untuk solusi macet itu. Di mana memang dalam beberapa waktu ke depan arus lalu lintas akan leluasa, tapi justru nanti lama-lama akan membuat lebih macet.
Kota yang maju bukan yang warga miskinnya bisa pakai kendaraan pribadi. Tapi warga kaya yang mau memakai transportasi publik. Jadi ini pilihan mazhab pembangunan. Proyek flyover mahal, transportasi publik juga mahal, tapi kalau mau berpihak kepada rakyat Pemkot lebih condong menyediakan transportasi publik.
Transportasi berbasis rel memang ideal, tapi mahal. Maka yang bisa terjangkau yakni transportasi berbasis bus yang digabung dengan merevitalisasi angkot sebagai feeder, rerouting juga perlu dilakukan agar bisa lebih menjangkau masyarakat.
Tapi harus ada alokasi anggaran, edukasi warga dan rembukan dengan stakeholder bisnis. Angkot dan sistem transportasi publik jadi periuk nasi. Jadi saya berharap semua pihak dapat haknya secara proporsional.
Pemilih muda porsinya cukup besar. Bagaimana Kang Arfi menjembatani pemilih muda ini?
Saya meyakini pemimpin harus banyak mendengar dari berbagai kalangan termasuk kelompok besar usia muda yang jadi masa depan Indonesia. Tentu pertemuan langsung akan tetap efektif karena banyak informasi yang kita dapat, tidak hanya konten tapi gestur, intonasinya itu tetap jadi kunci utama.
Generasi muda akrab dengan gadget kita perlu punya cara untuk menyerap informasi lewat berbagai medium. Saya sering membaca komentar dalam sebuah berita, karena kadang bagi generasi kita butuh adaptasi, koneksi kita dengan generasi muda penting karena kita sedang mengalami bonus demografi.
Jadi kekuatan kita generasi muda, kalau pemimpin kotanya abai dengan generasi ini maka ada loss opportunity. Padahal mereka bisa menceritakan gagasan pola pikirnya dan bisa jadi kita ikut dengan narasi mereka karena mereka yang akan jadi pewaris dan pemimpin kita di masa depan. Jadi poinnya, harus bertemu langsung dan adaptif dengan teknologi dan gaya komunikasi mereka.
Pesan untuk masyarakat Kota Bandung jelang Pilwalkot?
Ini jadi kesempatan kita untuk memilih siapa yang kita percayai. Kenali para calon, masing-masing pasti punya kelebihan dan kekurangannya. Manfaatkan berbagai chanel informasi dan pastikan nanti gunakan hak suaranya untuk menentukan masa depan Kota Bandung.